ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA

ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA

MAKALAH

SEBAGAI SYARAT PEMENUHAN MATAKULIAH
KONSELING LINTAS BUDAYA

logo warna OK
 







OLEH:
KELOMPOK III
SESI 2012 E
YOLLA MASDA RILFANI                       12060156
NENGSIH SISKAWATI                 12060163
NOVI ERISTA                                 12060164
EVA SUSIETI                                  12060166
MIA TAMILA                                  12060168
RAHMAH TUSA’DIAH                  12060170



DOSEN PEMBIMBING :
Dra. Zikra, M.Pd., Kons.


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014


KATA PENGANTAR
            Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika Konseling Lintas Budaya”. Makalah ini penulis ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah “Konseling Lintas Budaya”
            Penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada “Dosen Pembimbing Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya, Ibu Dosen Dra. Zikra, M.Pd., Kons.” dan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, baik materi maupun teknik penulisannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan sebagaimana mestinya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca khususnya terhadap penulis. Atas kritik dan saran yang diberikan penulis ucapkan terimakasih.

Padang, Desember  2014

Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................  i
Daftar Isi ...............................................................................................................................  ii
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah ............................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ......................................................................................................  2
C.     Manfaat Penulisan .....................................................................................................  2
D.    Tujuan Penulisan ........................................................................................................  2
Bab II Pembahasan
A.    Pengertian Budaya ..................................................................................................... 3
B.     Sifat Budaya .............................................................................................................. 4
C.     Etika dalam Konseling Lintas Budaya ....................................................................... 5
Bab III Penutup
A.    Kesimpulan ................................................................................................................  9
B.     Saran ..........................................................................................................................  9
Kepustakaan
Mind Mapping
Lampiran




BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value.
B.          Rumusan Masalah
1.      Apakah itu budaya ?
2.      Bagaimana sifat budaya ?
3.      Bagaimana pula etika dalam konseling lintas budaya ?
C.          Manfaat Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu budaya
2.      Untuk mengetahui bagaimana sifat dari budaya
3.      Untuk mengetahui etika konseling lintas budaya
D.          Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi syarat mata kuliah Konseling Lintas Budaya




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan berusaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan beberapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa jadi berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masyarakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat.
Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.

B.     SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki kesamaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, nilai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dengan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut.
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntutan jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa :
1.      Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman
2.      Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat
3.      Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri
4.      Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebudayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan
5.      Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.

C.    ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu
1.         Adanya hubungan
2.         Adanya dua individu atau lebih
3.         Adanya proses
4.         Membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu :
1.      Merupakan produk budidaya manusia
2.      Menentukan ciri seseorang
3.      Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya.
Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien. Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien.
Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami.
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan.
Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu :
1.      Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien
2.      Konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor
3.      Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah
1.      Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2.      Latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien
3.      Asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling
4.      Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah :
1.         Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal
2.         Variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, etika dalam konseling lintas budaya seperti:
1.         Tidak menyamaratakan penanganan masalah klien yang berbeda latar belakang budaya.
2.         Konselor dan klien harus saling bekerjasama.
3.         Konselor harus memahami keunikan klien.
4.         Konselor harus memahami manusia secara universal.
5.         Konselor perlu menyadari nilai-nilai yang berlaku secara umum.
B.     Saran
Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan sebelum kita melakukan praktek di lapangan, agar kita dapat memberikan bantuan sesui dengan etika konseling.



KEPUSTAKAAN
Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rajawali Press.
Gunadi, YS. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta : Grasindo Gramedia Wisisarana Indonesia.
Liliweri, Allo. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Lubis, Syaiful Akhyar. 2007. Konseling Islam Kyai Dan Pesantren. Yogyakarta : elSAQ Press.
Mappiare, Andi. 1996. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mulyana, Dedy. 2002. Imu Komunikasi Suatu Pengantar.  Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusuf dan Nurihsan. 2008. Landasan  Bimbingan Dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA"

Posting Komentar