MAKALAH
KONSELING LINTAS BUDAYA
Tentang
BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA
OLEH :
KELOMPOK III
SESI 2012 E
YOLLA MASDA RILFANI 12060156
NENGSIH SISKAWATI 12060163
NOVI ERISTA 12060164
EVA SUSIETI 12060166
MIA TAMILA 12060168
RAHMAH TUSA’DIAH 12060170
DOSEN PEMBIMBING :
Dra. Zikra, M.Pd., Kons.
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalahyang berjudul “Budaya Dengan Perilaku Bahasa”. Makalah ini penulis ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah “Konseling Lintas Budaya”
Penulis mengucapkan terimakasih terutamakepada “Dosen Pembimbing Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya, Ibu Dosen Dra. Zikra, M.Pd., Kons.” dan kepadasemua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, baik materi maupun teknik penulisannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan sebagaimana mestinya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca khususnya terhadap penulis. Atas kritik dan saran yang diberikan penulis ucapkan terimakasih.
Padang, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1
D. Manfaat Penulisan ..................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Bahasa ...................................................................................................... 3
B. Pengertian Budaya ..................................................................................................... 4
C. Hubungan Antara Bahasa Dengan Budaya ............................................................... 5
D. Fenomena Antara Bahasa dan Budaya ...................................................................... 6
E. Pengaruh Bahasa Terhadap Perubahan Budaya ........................................................ 8
Bab III Penutup
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................................................... 11
Kepustakaan
Mind Mapping
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu Bahasa ?
2. Apakah itu Budaya ?
3. Bagaimanakah Hubungan Antara Bahasa dengan Budaya ?
4. Bagaimanakah Fenomena Antara Bahasa dan Budaya ?
5. Bagaimanakah Pengaruh Antara Bahasa dan Budaya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apakah itu bahasa
2. Untuk mengetahui apa itu budaya
3. Untuk mengetahui hubungan antara bahasa dengan budaya
4. Untuk mengetahui fenomena antara bahasa dan budaya
5. Untuk mengetahui pengaruh antara bahasa dan budaya
D. Manfaat Penulisan
1. Agar dapat mengetahui apakah itu bahasa
2. Agar dapat mengetahui apa itu budaya
3. Agar dapat mengetahui hubungan antara bahasa dengan budaya
4. Agar dapat mengetahui fenomena antara bahasa dan budaya
5. Agar dapat mengetahui pengaruh antara bahasa dan budaya
BAB II
PEMBAHASAN
BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA
A. PENGERTIAN BAHASA
Istilah “Bahasa” dalam bahasa Indonesia, sama dengan “Language” dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, “Sprache” dalam bahasa Jerman, “Lughatun” dalam bahasa Arab dan “bahasa” dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan.
Seperti yang diungkapkan oleh para ahli:
1. Menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya “Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan” bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi.
Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.
B. PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun menurut Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya “Relung-relung Bahasa” mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.
C. HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.
Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
D. FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar personal. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolute yaitu selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa Banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi.
Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Fenomena lain, misalnya budaya Inggris dan budaya Indonesia dalam memandang waktu sehari semalam yang 24 jam. Pukul satu malam budaya Inggris mengatakan Good morning alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat malam karena memang masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang, budaya barat masih juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengucapkan selamat siang karena memang hari sudah siang, matahari sudah tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata “butuh” dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan.
Demikian pula dalam bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka.
Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.
Orang Bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan “Neng” sedangkan panggilan itu biasanya untuk anak perempuan atau wanita muda di Bandung. Sedangkan orang Makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio. Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).
Begitu juga bahasa Jawa sebagaimana disebutkan Abdul Wahab, yang ada kaitannya dengan kelapa. Dalam bahasa Jawa kita mengenal janur (daun muda kelapa), blarak (daun tua kelapa), sada (lidi atau tulang daun kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah (sekumpulan lidi untuk menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar (srangkaian kuntum bunga kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa yang masih sangat muda dan belum berair), cengkir (buah kelapa muda bertulang tempurung lunak tapi belum berdaging), degan (buah kelapa muda yang sudah bedaging lunak), krambil (kelapa yang sudah tua dan dapat dipakai sebagai bahan minyak goreng), glugu (batang kelapa sebagai bahan bangunan). Uraian di atas menunjukan bahwa tak diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya.
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa atau daerah tertentu adalah untuk membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada.
E. PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN BAHASA
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tuna susila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan, pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda mengatakan bahwa bahasa yang diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan menjadi lontong, reformasi diplesetkan menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu juga dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to school.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Di dunia terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.
Oleh karenanya suatu masyarakat bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa di antara para anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh, sebab di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam berkomunkasi verbal.
Seperti halnya Masyarakat Indonesia yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai macam bahasa daerah memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun demikian disisi lain perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Permasalahan silang budaya dan bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat yaitu dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan bahasa dan ciri khas budaya tertentu.
Dengan demikian sebagai orang terpelajar harus bisa memposisikan diri dengan memperhatikan beberapa hal sebagaimana Mudjia Rahardjo katakan bahwa penggunaan bahasa akan terus berbeda tergantung pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau informal, dengan siapa kita bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan kata-kata itu. Satu hal yang tak terpisahkan dari pilihan-pilihan yang kita buat dalam penggunaan bahasa yaitu dimensi budaya.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada khususnya. Semoga kita sebagai calon konselor masa depan yang profesional dapat memahami berbagai ragam kebudayaan yang dimiliki oleh klien kita nantinya. Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang baru bagi pembaca dan penulis pada khususnya.
KEPUSTAKAAN
Bainar, Hajjah, dkk 2006.. Ilmu Sosial, Budaya dan Kealaman Dasar. Jakarta : Jenki Satria
Khaer, Abdul dan Leonia Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Khaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Lewis, Bernard. 1988. Bahasa Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Sapir, Edward. 1921. Language. Ottawa: Harc curt, Brace and World Inc.
Valdman, Albert. 1966. Trends in Language Teaching. USA: Indiana University Press.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara
0 Response to "BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA"
Posting Komentar